Senin sore kemarin, saya bertemu seorang teman dekat yang sedang pulang ke Indonesia. Tidak ada yang berubah dari fisiknya. Masih tetap imut, berpipi putih, dan syukurlah jilbabnya juga masih rapat, menutupi auratnya. Teman saya ini pindah ke Hungaria beberapa waktu lalu setelah menikah dengan pria bule mualaf asal Hungaria.
Berkat kemampuan bahasa Inggrisnya yang lebih mulus dari jalanan kota Bandung, di Hungaria, ia mendapat beberapa pekerjaan freelance. Dan sekarang, untuk bahasa sehari-hari, ia sudah mulai lihai bebahasa Hungaria juga. Selain soal kegiatan sehari-harinya di sana, ia juga membawa cerita lain.
Ada satu ceritanya yang membuat saya semakin teringat dan meyakini kutipan dari sebuah hadits yang kurang lebihnya mengatakan bahwa untuk memiliki dunia dan segala isinya, kita hanya memerlukan rezeki yang cukup untuk makan hari ini, kesehatan, dan bangun dalam keadaan aman.
Di Hungaria, ia bercerita, ia sempat bertemu dengan beberapa pengungsi dari luar Hungaria, salah satunya dari Afganistan. Seorang anak Afganistan berusia 19 tahun yang rupanya lebih mirip pemuda berusia 30an tahun ini terdampar di Hungaria, setelah berkali-kali pindah negara. Anak ini diselundupkan untuk keluar dari Afganistan dengan harapan hidupnya di luar bisa lebih aman.
Saya lupa, tapi menurut teman saya itu, si anak ini menguasai lebih dari lima bahasa karena seringnya ia pindah-pindah negara. Dan yang hebatnya lagi, semua itu ia pelajari secara otodidak, dengan sering mendengar orang-orang di sekitarnya berkomunikasi. Di negeri orang, anak ini memang tetap hidup tetapi sampai saat ini, ia tidak tahu apakah keluarganya yang entah dimana, juga masih hidup. Sebagai seorang pencinta rumah, saya berpikir, seenak-enaknya rumah orang, pasti lebih enak rumah sendiri. Semoga anak ini tidak berpikiran seperti saya.
Ada lagi seorang ibu dengan dua anaknya (kalau tidak salah). Mereka terpaksa mengungsi ke Hungaria juga. Untuk hidup sehari-hari, mereka mengandalkan bantuan dari sebuah NGO. Tetapi bantuan ini hanya bersifat sementara. Setelah habis masanya, tidak ada yang tahu bagaimana mereka harus hidup nantinya. Melamar pekerjaan di Hungaria, menurut teman saya, bukan persoalan mudah, apalagi untuk para pengungsi.
Saya tidak tahu bagaimana rupa masa depan dalam benak mereka. Apakah kuping mereka masih lebih akrab dengan suara bom atau tembakan yang dulu sempat menjadi makanan mereka sehari-hari, atau kini mereka sudah bisa menggambarkan masa depan dengan pena harapan? Semoga harapan mereka tidak pernah putus.
Mmmm....perasaan kaya mungkin memang tidak harus selalu diidentikkan dengan dompet tebal, gaji melimpah, atau investasi segunung. Mendengarkan cerita teman saya, saya jadi merasa kaya, tercukupi, dan luar biasa terberkahi. Dengan kehidupan aman, kesehatan, dan rezeki yang cukup untuk makan hari ini, kalau masih merasa cemas dan serba kekurangan, yah mungkin sebenarnya yang menyusahkan adalah pikiran kita, bukan nasib kita.
Bekasi, masuk tengah hari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar