Rabu

bye

Sore tadi, saya bertemu teman lama. Kami dulu sempat beberapa kali liputan di tempat yang sama. Setelah pindah kerja, saya tidak lagi bertemu dengannya.

Dasar teknologi bikin malas, akhirnya saya hanya bertukar sapa dengannya lewat facebook. Itupun tidak sering. Sampai tadi sore saya bertemu lagi dengannya.

Ia sedang tidur memakai selimut merah kembang-kembang ketika saya datang. Lama tidak bertemu, saya agak pangling juga karena fisiknya sedikit berubah.

Kami tapi tidak sempat berbincang. Ah biarlah, karena terkadang obrolan hanya berpangkal pada basa basi tanpa isi. Sore itu, kami memilih sama-sama diam.

Sebelumnya, saya mendengar kabar bahwa ia mendapat musibah. Allah memberinya takdir lain atas bayi dalam kandungannya. Bayi lelakinya meninggal saat masih dalam kandungan tuanya dan kembali ke dalam pelukan Tuhan. Siapa yang bisa tahu apa yang sedang dilakukan bayi itu sekarang? Hanya yang pasti, dia bahagia.

Saya tidak suka perpisahan. Walaupun saya bukan tipe orang yang intim dan senang berlama-lama dalam kelompok pergaulan, saya tetap tidak menyukai perpisahan.

Perpisahan bagi saya, lebih banyak berkonotasi dengan sesuatu yang pergi secara tiba-tiba ketika kita tidak sedang mempersiapkannya. Dan saya bukan orang yang menyukai kejutan. Walaupun saya lebih sering spontan daripada terencana, saya tidak suka dikejutkan.

Tahun lalu kalau tidak salah, saya bertemu dengan seseorang yang sangat mengugah hati saya. Seseorang yang mengajak saya berkenalan dengan Tuhan, yang membuat saya terbuai dengan nasihat-nasihatnya, dan yang mengajarkan saya bahwa perpisahan adalah hal biasa.

Ketika Ayah saya meninggal akhir Oktober kemarin, hati saya hancur. Rasanya sangat sulit untuk percaya bahwa ayah sudah meninggal. Membaca sebaris namanya di papan nisan adalah siksaan. Ini rasanya lebih mudah dipercayai sebagai sebuah ilusi daripada kenyataan.

Pada masa-masa awal itu, saya sering bercerita pada orang itu. Dan apa jawaban yang saya terima darinya? Dalam bahasa yang lain, dia katakan bahwa saya harus maju. Dia memberi tahu apa yang ayah saya butuhkan saat ini.

Ayah tidak membutuhkan air mata karena dia tidak dapat merasakan kesedihan kami. Ayah juga tidak butuh kami mengulang cerita-cerita lalu yang membuat kami terperangkap dalam nostalgia. Ayah hanya membutuhkan doa. Berdoa, berdoa, berdoa. Itu yang selalu ia ingatkan kepada saya.

Ia tidak pernah mau membesar-besarkan perpisahan atau kematian. Mempermasalahkan perpisahan hanya akan membuat kita bingung dan sesak. Sakit memang, tapi apa yang bisa kita harapkan dari takdir yang sudah jelas memasangkan pertemuan dengan perpisahan.

Saat ini, saya belum sepenuhnya menyerap nasihat-nasihatnya. Saya masih si labil yang air matanya sering tumbang tanpa kenal waktu dan alasan. Perpisahan juga masih sering memojokkan saya dan membuat hati saya ciut. Tapi suatu saat, jika Tuhan berkehendak, pemahaman saya tentang ini semua pasti akan sempurna. Semoga.g

Tidak ada komentar:

Posting Komentar