Suatu hari di bawah langit yang menghampar seperti permadani biru, saya bercerita tentang ibu kepada cangkir teh bunga-bunga. Dengan satu kupingnya, cangkir teh mengamati cerita saya.
Kami berdua terlentang menghadap langit. "Saya sedang melihat hati ibu," kata saya membuka cerita. "Mana?", tanya cangkir teh. Saya lalu menunjuk langit yang sedang menggembala awan yang mirip biri-biri berwarna putih.
"Ibu kan ada di rumah," kata cangkir teh. "Iya, tapi itu hati ibu," balas saya. Hati yang seperti langit. Cangkir teh bengong memandang langit.
"Langit adalah hati ibu. Atau kalau kamu keberatan, langit mirip seperti hati ibu," ujar saya. "Percayalah tidak ada yang memiliki hati sebesar ibu. Kamu, saya, tidak akan bisa mengukur hati ibu karena sangat luas. Ia seperti lapangan tanpa tepi, lautan tanpa pantai, jalan tanpa ujung. Yah seperti langitlah,".
Setiap melihat hati ibu, siapapun akan merasakan birunya yang membuat haru. Biru yang jernih, sekalipun tertutup mendung. Seperti langit cerah, siapa saja pasti terbuai saat melihatnya. Yang murung pasti tersenyum. Yang sedih membuang air matanya. Yang cemas menjadi tenang. Itulah hati ibu. Dan seperti langit, hati ibu selalu setia.
Tetapi seperti langit, hati ibu pun tidak selalu cerah. Kadang ia mendung, seperti tersemprot asap knalpot. Tapi perhatikanlah ketika mendung pun, hati ibu tetap indah. Tetap menyejukkan. Dan saat mendung itulah, kamu akan mendapati satu lagi keistimewaan hati ibu. Romantismenya yang begitu dalam.
Cangkir teh diam mendengarkan cerita saya. "Saya jatuh cinta pada hati ibu," kata saya kemudian.
*Selagi sempat, mari berikan pelayanan terbaik kita untuk ibu. Berikan dia telinga kita, kehadiran kita, pelukan hangat, senyum, kata-kata terindah, dan tenaga kita. Kalau Sapardi menjagokan Hujan Bulan Juninya sebagai sosok yang paling tabah, saya menjagokan ibu saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar