Selasa

ibu

Suatu hari, ibu pernah berkata serius bahwa ia akan menarik kembali kami ke dalam rahimnya. Harus, kata ibu dengan suara bergetar. Kami menatap perut ibu. Melihat perutnya yang mengendur, seperti kue bolu gagal.

Tempat kami bukan di sini. Begitu menurut ibu sambil jari telunjuknya melingkar-lingkar di udara. Ibu lalu menunjuk rahimnya. Kalian lebih aman di sini, kata ibu.

Kami, anak-anak culun, masih pendek-pendek, menatap ibu tanpa ekspresi. Kami tidak bertanya mengapa ibu ingin mengembalikan kami ke rahimnya. Kami tidak tahu ibu bicara apa sebenarnya. Kami hanya diam, melihat ibu mengusap-usap perutnya. Hari itu, malam merambat lebih pelan dari biasanya dan pekat selamanya menyelimuti hati ibu.

--
Ibu tertidur di atas dipan cokelat. Rambut putihnya jatuh berantakan di wajahnya. Bibir cokelatnya bergerak-gerak. Lalu terdengar bunyi gigi bergemeretak. Hampir pukul 03.00, ibu terbangun lalu mengaji lama sambil sesunggukan. Nyamuk-nyamuk bersimpati pada ibu dan memberinya banyak ciuman merah di pipi ibu. Kami terbangun dan menghampiri ibu.

Ibu kemudian berhenti mengaji, meninggalkan lembaran kertas Al-quran yang menjadi tembus pandang terkena air mata. Ibu menatap kami satu-satu. Dan berhenti pada si hitam, anaknya yang pertama, kakak kami. Ibu bergeming, hanya air matanya yang bicara. Matanya meleleh, seperti lilin yang dibakar. Ah, dan sesungguhnya hati ibu pun terbakar.

Si hitam lalu bergerak, memeluk kencang tubuh ibu yang selalu harum. Ia mencium pipi ibu yang basah dan memeluknya terus. "Kami akan baik-baik saja, bu. Doakan saja kami," si hitam berbisik di telinga ibu. Ibu mengangguk pelan lalu meminta kami keluar.

Doa ibu subuh itu adalah agar kami kembali ke dalam rahimnya.


Bekasi,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar