Seperti beberapa hari sebelumnya, mata ibu sembab. Kantung matanya menggantung tebal. Matanya tidak lagi cerah. Mendung. Seperti suasana hatinya yang kelabu. Ibu menangis terus, seperti ingin menebus utang hujan pada bumi. Kini, ibu selalu berjaga-jaga handuk kecil di dalam tasnya. Handuk yang menampung air matanya.
Ibu bukan wanita cengeng. Dia wanita terkuat yang pernah saya kenal. Ibu juga bukan wanita manja. Ia tidak pernah meratapi penyakit gulanya dengan air mata. Ibu tidak pernah merengek meski telapak kakinya selalu sakit. Air mata ibu tidak seperti barang obralan. Ibu selalu menyimpannya hati-hati dan menjadikannya sebagai barang eksklusif. Tapi kali ini lain. Ibu tidak bisa berhenti menangis.
Saya tidak suka melihat ibu menangis. Menyakitkan rasanya. Air mata ibu menumbuk hati saya hingga hancur tak karuan. Saya menjadi bisu ketika ibu menangis. Dan saya hanya ingin berlari sejauh mungkin lalu bersembunyi dari tangisan ibu.
---
Langit kota cukup terang. Lelehan awan putih di sana sini menutupi tubuhnya yang biru muda. Mungkin langit sedang tidak ingin terlihat biru. Melihatnya, saya jadi teringat ibu yang selalu berusaha menyembunyikan air matanya, walau akhirnya tetap terlihat juga.
Siang itu, ibu duduk di dalam ruangan berwarna hijau muda. Ruangan itu begitu luas, membuat ibu terlihat kecil. Ibu juga terlihat seperti benda asing di antara layar-layar komputer, selang infus, gambar detak jantung yang lancip-lancip, seperti pohon cemara, dan ranjang-ranjang besar yang berjejeran.
Mata ibu yang berkabut menatap berkeliling. Wajahnya cemas. Ibu tidak suka di sana. Baunya, auranya...semua. Ibu tidak suka di sana. Terlebih lagi, di dalam ruangan itu ibu harus melihat ayah terbaring lemas. Melihat punggung tangan kanannya yang ramai ditancapi jarum infus. Melihat ayah yang tidak bisa diam, dibuat pasrah oleh takdir.
Dari seberang ranjang, saya melihat hati ibu. Hancur. Berserakan kemana-mana. Ibu tidak berdaya. Ia biarkan saja, hatinya terus terpecah-pecah. Dan saya hanya menatap. Bingung harus berbuat apa. Ibu jangan nangis. Ibu jangan nangis. Ibu jangan nangis. Saya hanya bisa teriak-teriak di dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar