Sabtu

daun musim semi

Hari itu, daun pertama musim semi tumbuh di dalam hatinya. Ia memandangi hatinya yang bersemi di depan cermin persegi. Tangannya menelusuri setiap inci daun yang berdiri solo di batang pohon merah jambu. Daun kecil yang tampak kekecilan di tengah semesta tubuhnya yang bongsor.

Jangan cemas, kata dia pada daun itu, semua hal besar juga berasal dari sesuatu yang kecil. Kelak engkau pasti tumbuh besar, gagah, dimakan ulat, dicabut angin, mati melintang di atas rumput, dan berubah menjadi tanah. Dan sungguh, berkat kaki-kaki kecilmulah perjalanan ini menjadi tidak sia-sia.

Ia masih berdiri di depan cermin. Wajahnya menelanjangi daun kecil itu dan ia merasa takjub. Daun itu tidak terlihat kusut walaupun habis melalui puluhan pergantian tahun. Malahan, daun itu terlihat sangat segar.

Dan sekarang, ia mengerti bagaimana orang-orang bisa begitu berbinar ketika hatinya berjabatan dengan daun itu. Bagaimana mereka merasa benar-benar penuh hanya karena selembar daun kecil. Bagaimana mereka bisa berlari kencang, bahkan dengan menutup mata, dan tetap berada di lintasan.

Oh, ia benar-benar merasa bersyukur karena sekarang ia menjadi salah satu dari mereka. Daun itu seakan memberinya sepasang mata, melepasnya dari dunia abu-abu dan kabur yang selalu dilihatnya selama ini.

Ia terdiam di depan cermin persegi. Hatinya bersemi. Kini, ia sudah tahu mau menamai daun kecil itu apa. Dengan lipstik merah, ia tulis nama daun itu di tubuh cermin. IMPIAN.


Bekasi, pagi hari. *Percaya atau tidak, saya akhirnya mengetahui apa yang benar-benar ingin saya lakukan di usia 28 tahun. Tidak tahu ujungnya akan seperti apa, tetapi kesadaran bahwa saya memiliki impian, sungguh membuat saya merasa sangat hidup :)*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar