Mungkin menyenangkan jika jarak adakalanya seperti tas serut. Tinggal ditarik, dua titik bertemu dalam hitungan satu, dua, tiga detik. Kalau begitu, saya kira rencana kita tidak akan diganggu oleh kejutan-kejutan yang sering bersembunyi di lipatan jeda.
Urusan kita juga pasti cepat selesai. Saya akan datang dalam dua kedipan mata lalu memelukmu, mencium kedua pipimu. Dan yang paling penting bisa melihatmu. Kita akan menjalani pertemuan yang padat, tanpa basa basi, dan efisien.
Tapi saat ini, jarak tetap saja jarak. Dia tidak menjelma menjadi sesuatu yang sederhana. Sesuatu yang sekilat tarikan tas serut. Saya tetap saja harus melalui jalanan perbukitan, tanda-tanda di sepanjang jalan yang menambah cemas, dan melewati ratusan kilometer. Saya tetap harus menunggu beberapa jam untuk melihatmu...padahal saya sedang enggan menunggu.
Sungguh...saya ingin hadir secepatnya, melebihi bunyi dua petikan nada pesan di handphonemu. Saya ingin menyapa wajahmu yang keriput, bukan suaramu. Saya ingin berbincang sedekat dua langkah darimu, bukan dari ratusan kilometer.
Mungkin ini karena rindu atau karena cemas atau karena keduanya. Saya tahu, kamu pasti lebih tersiksa lagi karena waktu membuat semuanya berubah, menarik kami dari dekapanmu. Waktu memberikan kami kehidupan yang baru. Kehidupan yang lebih ramai. Sementara bagimu, waktu hanya membuat segalanya menjadi senyap. Dan kamulah yang paling tahu apa itu rindu karena ditinggal pergi dan cemas karena tidak bisa bertemu. Mungkin saya harus bertanya bagaimana sehari-hari kamu menghadapi semua ini.
Saat ini, saya membayangkan rumahmu. Pagar cokelat, dua kursi rotan di depan teras, lantai putih, lampu kuning, pintu kamar yang selalu menyeret lantai, dan sofa merah hati. Kamu duduk di sofa itu dengan kaki menjulur di atas meja. Tangan kananmu memegang remote televisi. Saya rindu, sungguh. Baik-baik disana ya. Ketika kamu terlelap nanti, bukakan pintu untuk saya. Saya ingin datang dan memelukmu.
Bekasi, magrib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar