Beberapa bulan lalu, saya pernah mewawancarai seorang wanita. Ia adalah wanita yang dekat dengan anak-anaknya. Seorang wanita yang berkomunikasi secara mendalam dengan seluruh anaknya dan berusaha menjadi teman mereka, tanpa melupakan posisinya sebagai Ibu.
Hari itu adalah kedua kalinya saya mewawancarai dia, untuk topik yang berbeda. Selesai bicara dengannya, saya sempat terdiam beberapa saat. Saya memikirkan pernyataan wanita itu tentang kegagalan. Bahwa kegagalan bukanlah musuh, apalagi sampah. Dan bahwa kegagalan juga sama berartinya dengan keberhasilan.
Saya termenung mendengar pernyataannya dan menjadi lebih termenung lagi ketika kami selesai bercakap-cakap. Baginya, kegagalan adalah sesuatu yang harus dipersiapkan. Dan mungkin persiapannya harus lebih matang dibandingkan ketika kita mempersiapkan kesuksesan. Dan sayangnya, kata dia, kita melupakan hal itu. Membicarakan kegagalan adalah hal yang tabu, seperti halnya mengucap kematian.
Merancang kegagalan hanyalah perilaku orang-orang pesimistis, penakut, dan lemah smangat. Daripada berandai-andai gagal, kita lebih sering dicekoki dan mencekoki diri kita dengan gambaran kesuksesan. Sejak dulu, kita dipacu untuk menjadi orang sukses, tanpa membawa peralatan perang yang lengkap, yaitu rencana kegagalan.
Akibatnya, kata wanita itu, kita tidak memiliki mental yang kuat untuk menerima kegagalan. Kita seakan hidup dalam sebuah dongeng yang akhirnya harus bahagia karena kalau tidak kita akan mati menerima hasil yang buruk. Kita menjadi selemah api lilin. Dan pilihan hidup sepertinya menjadi sempit sekali, kalau tidak sukses berarti mati.
....
Saya menyetujui pemikiran Ibu itu dan saya bersyukur, Tuhan mengizinkan saya berbincang dengannya hari itu. Saya bukan sedang mencari pembenaran dari kegagalan. Saya hanya mengingatkan diri saya bahwa mempersiapkan kegagalan sama pentingnya dengan mengejar kesuksesan. Bahwa saya harus memiliki mental yang kuat karena tidak ada satupun dalam rencana hidup saya yang saya ketahui akhirnya.
Saat ini, saya sedang membangun banyak hal dalam hidup saya. Dan saya sama tidak tahunya dengan siapapun juga bagaimana ujung dari semua ini. Karena itu, saya merasa lebih aman jika saya mengawalinya dengan berpikir, "Bagaimana kalau gagal,". Semoga tidak ada yang mengartikannya sebagai hal yang tabu.
Bekasi, masuk Ashar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar