Dia kembali bermimpi. Gambar yang sama seperti dua hari lalu, tiga hari lalu, ah bahkan katanya seperti sepekan lalu. Semua sama. Mimpi yang selalu membuat dia menggugat matanya karena bangun di saat yang tidak tepat.
Pada siang hari yang terik, di bawah lampu bohlam terbesar yang pernah dia lihat, dan di antara debu jalanan yang berhamburan, ia menceritakan mimpinya. Pelan-pelan keringatnya mencari udara dari balik poninya.
--
Semua mimpinya selalu diawali dengan sebuah pohon besar berbunga merah muda. Pohon itu berada di sebuah lapangan tak bertepi. Rupanya seperti hendak pergi ke pesta, cantik sekali, kata dia. Dalam mimpinya, ia berjalan mendekati pohon itu. Ia berjalan di atas bunga-bunga merah muda yang habis dicumbu angin. Ia terus berjalan dan semakin mendekat, mendekat, dan akhirnya bersentuhan dengan tubuh pohon besar itu.
Pohon yang kekar. Melihat ototnya, ia tidak yakin lagi apakah pohon ini masih pantas disebut cantik. Ia takut pujiannya tadi membuat si pohon tersinggung. Adegan berikutnya, ia masih bercerita, ia bersandar pada pohon itu. Dan dalam kecepatan per sekian detik, bunga-bunga pink jatuh lembut di tubuhnya. Sebelum mendarat, mereka bilang permisi.
Ia duduk agak lama di sana. Terdiam sambil meneguk sore yang rasanya manis dan menikmati sebuah hidangan terbaik. Kalau tidak salah, kata dia, namanya senja. Bentuknya mirip kuning telur asin, hanya rasanya agak getir, seperti ketika menerima salam perpisahan dari yang terkasih.
Dia lalu terdiam. Keringatnya semakin tidak tahu diri. Lengket sudah wajahnya. Ia lalu mengambil payung abu-abu, membukanya, dan kembali bercerita. Kali ini, ia agak berbisik. Suaranya terdengar tipis sekali dan beberapa kali hilang tergilas bus kota. Ia mendekatkan bibirnya. "Saya bertemu pacar lama,".
Dia mengaku sangat terkejut ketika melihat pacar lamanya tiba-tiba sudah duduk bersebelahan dengannya. Dia tidak tahu darimana pacar lamanya datang. Ah, kata dia, tapi ini kan mimpi, apa saja mungkin. Mereka lalu berbincang seru. Percakapan tanpa huruf, apalagi kalimat. Dia juga sempat menuangkan sore ke dalam cangkir untuknya dan memotong sedikit hidangan yang kalau tidak salah bernama senja itu.
Mereka bersantap ria sambil berbincang. Dan kadang tertawa juga. Derai tawa tanpa Ha Ha Ha Ha. Tidak lama, pacar lamanya pamit pergi. Ia tidak menahannya. Ia hanya minta dikunjungi sekali-kali karena ia sering kangen. Pacar lamanya mengangguk lalu pergi, setelah mengambil bunga pink dari atas rumput.
--
Saya berada satu payung dengannya. Dan saya benar-benar tidak memahami adegan ketika dia bertemu dengan pacar lamanya. Berbincang tanpa huruf? Ah, saya bingung. Tapi ya sudahlah. Saya lalu menanyakan nama pacarnya. Apa saya kenal dia, tanya saya tanpa jeda. Dia menggeleng lalu dia sebutkan nama pacar lamanya. "Namanya sunyi. Pacar lama saya namanya sunyi,".
Dahi saya mengernyit dan menatapnya. Dalam hati saya bilang, "Orang gila dia. Mana ada orang pacaran dengan sunyi,". Kami lalu terdiam di bawah payung. Dia tidak bercerita lagi. Mungkin sudah selesai, saya tidak bertanya juga. Siang terus berjalan, hari terus berubah rupa. Kami tetap terdiam. Saya melirik ke arahnya. Ia sedang menulis SMS dengan pipi merona. Kemudian ia berbalik menatap saya. "Sunyi ngajak ketemuan," ujarnya sambil tersenyum lebar.
Pada siang hari yang terik, di bawah lampu bohlam terbesar yang pernah dia lihat, dan di antara debu jalanan yang berhamburan, ia menceritakan mimpinya. Pelan-pelan keringatnya mencari udara dari balik poninya.
--
Semua mimpinya selalu diawali dengan sebuah pohon besar berbunga merah muda. Pohon itu berada di sebuah lapangan tak bertepi. Rupanya seperti hendak pergi ke pesta, cantik sekali, kata dia. Dalam mimpinya, ia berjalan mendekati pohon itu. Ia berjalan di atas bunga-bunga merah muda yang habis dicumbu angin. Ia terus berjalan dan semakin mendekat, mendekat, dan akhirnya bersentuhan dengan tubuh pohon besar itu.
Pohon yang kekar. Melihat ototnya, ia tidak yakin lagi apakah pohon ini masih pantas disebut cantik. Ia takut pujiannya tadi membuat si pohon tersinggung. Adegan berikutnya, ia masih bercerita, ia bersandar pada pohon itu. Dan dalam kecepatan per sekian detik, bunga-bunga pink jatuh lembut di tubuhnya. Sebelum mendarat, mereka bilang permisi.
Ia duduk agak lama di sana. Terdiam sambil meneguk sore yang rasanya manis dan menikmati sebuah hidangan terbaik. Kalau tidak salah, kata dia, namanya senja. Bentuknya mirip kuning telur asin, hanya rasanya agak getir, seperti ketika menerima salam perpisahan dari yang terkasih.
Dia lalu terdiam. Keringatnya semakin tidak tahu diri. Lengket sudah wajahnya. Ia lalu mengambil payung abu-abu, membukanya, dan kembali bercerita. Kali ini, ia agak berbisik. Suaranya terdengar tipis sekali dan beberapa kali hilang tergilas bus kota. Ia mendekatkan bibirnya. "Saya bertemu pacar lama,".
Dia mengaku sangat terkejut ketika melihat pacar lamanya tiba-tiba sudah duduk bersebelahan dengannya. Dia tidak tahu darimana pacar lamanya datang. Ah, kata dia, tapi ini kan mimpi, apa saja mungkin. Mereka lalu berbincang seru. Percakapan tanpa huruf, apalagi kalimat. Dia juga sempat menuangkan sore ke dalam cangkir untuknya dan memotong sedikit hidangan yang kalau tidak salah bernama senja itu.
Mereka bersantap ria sambil berbincang. Dan kadang tertawa juga. Derai tawa tanpa Ha Ha Ha Ha. Tidak lama, pacar lamanya pamit pergi. Ia tidak menahannya. Ia hanya minta dikunjungi sekali-kali karena ia sering kangen. Pacar lamanya mengangguk lalu pergi, setelah mengambil bunga pink dari atas rumput.
--
Saya berada satu payung dengannya. Dan saya benar-benar tidak memahami adegan ketika dia bertemu dengan pacar lamanya. Berbincang tanpa huruf? Ah, saya bingung. Tapi ya sudahlah. Saya lalu menanyakan nama pacarnya. Apa saya kenal dia, tanya saya tanpa jeda. Dia menggeleng lalu dia sebutkan nama pacar lamanya. "Namanya sunyi. Pacar lama saya namanya sunyi,".
Dahi saya mengernyit dan menatapnya. Dalam hati saya bilang, "Orang gila dia. Mana ada orang pacaran dengan sunyi,". Kami lalu terdiam di bawah payung. Dia tidak bercerita lagi. Mungkin sudah selesai, saya tidak bertanya juga. Siang terus berjalan, hari terus berubah rupa. Kami tetap terdiam. Saya melirik ke arahnya. Ia sedang menulis SMS dengan pipi merona. Kemudian ia berbalik menatap saya. "Sunyi ngajak ketemuan," ujarnya sambil tersenyum lebar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar