Jumat

dicari: pengganti bulan

Satu sore, di bawah langit yang tampak seperti kanvas keabuan. Satu sore, di bawah matahari yang mendarat perlahan di pucuk-pucuk daun. Satu sore, ketika berhelai-helai daun sekarat akhirnya tumbang di atas tanah. Satu sore, saat bulan yang muncul entah darimana, tergesa-gesa mencari lubang kelinci. Satu sore yang aneh.
...
Sore yang senyap itu menjadi geger gara-gara ada bulan mendarat di samping pohon tidak bernama. Waktu ditanya kenapa bulan mendarat dan sampai mencari lubang kelinci segala, ia bilang karena ingin sembunyi. Hah, mereka serempak kaget. 

Bulan bilang lagi alasannya. Karena ingin meredupkan tubuhnya yang kuning pucat. Karena ingin mencari sunyi. Karena ingin berbincang dengan dirinya sendiri. Dan karena sedang bosan terbang di langit. 

Hah, hah, hah, hah!! Semua yang mendengar kaget. Ada yang cemas juga. Pak satpam yang kebetulan lewat buru-buru merayu bulan agar menunda niatnya. Dalam hati, ia teringat tugas rondanya nanti malam. Bagaimana gelapnya kalau bulan tidak ada, ujarnya dalam hati. Sambil pura-pura membersihkan kuku, bulan menggeleng. Pak satpam merayu lagi. Bilang, apa enaknya sembunyi di lubang kelinci. Lebih enak terbang di langit. "Bisa mengintip juga," bisik pak satpam. 


Tapi bulan tetap menggeleng. Pak satpam kehabisan rayuan. Ia lalu bergegas pulang sambil memikirkan alasan untuk mangkir ronda malam nanti. Pohon yang biasanya dipandang sambil lalu itu kini menjadi pusat perhatian. Lantaran bulan duduk di sebelahnya, pohon itu menjadi terang. Orang-orang mendekat karena tertarik dan tukang jualan juga tidak mau kalah. 

Sambil makan sate padang, beberapa dari mereka memandangi bulan yang pelan-pelan masuk ke lubang kelinci. Beberapa dari mereka berbisik-bisik, menyebut si bulan egois, ada yang geleng-geleng, tapi ada juga yang menatap kehilangan. 

Kini sudah setengah badannya masuk ke lubang. Perlahan, pohon tidak lagi terik. Sinar bulan yang tadinya lebar selebar-lebarnya, pelan-pelan menciut. Menciut. Menciut. Menciut sampai akhirnya hilang ditelan lubang. 


"Ooohh...," para penonton mengawal penghabisan sinar bulan. Sebentar mereka menatap lubang itu, entah apa yang ada di pikiran mereka, lalu akhirnya satu per satu balik badan. Tukang jualan kembali mendorong gerobaknya, ibu-ibu pulang ke rumah sambil menyeret anak-anaknya, burung-burung melanjutkan perjalanan pulang, dan langit berubah kemerahan. 

Pohon itu kembali dipandang sambil lalu, kembali sunyi, dan tidak menarik. Di dalam lubang, bulan menggelar makan malamnya sambil bernafas lega.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar