Kemarin siang, waktu hendak berangkat kantor, saat sedang mengancingkan baju, ketika mematut diri di depan cermin, saya bertanya pada wanita di seberang saya. Saya bertanya, apa saya sudah sukses. Si wanita dengan rambut diikat, memakai kemeja kembang-kembang, belum bercelana, terdiam menatap saya. Keningnya sedikit berkerut, bibirnya rapat, mengunci jawaban.
Tidak mendapat jawaban, saya beranjak dari depan cermin, mengambil tas, dan keluar rumah. Sampai siang mau habis, bayang-bayang si sukses masih terang. Ia main-main di ujung pena saya, di bangku merah, di atas meja kaca bundar, dan sekali-sekali berayun di kerudung cokelat teman saya.
Dan seperti gulungan benang yang ditarik, saya mengikuti langkah-langkah kecilnya. Pikiran saya menyusuri wujudnya yang tidak jelas. Dan saya tahu, ia tidak akan berhenti menggoda saya, sampai saya memberinya jawaban.
....
Dari dalam bus yang dinginnya hangat, saya melihat matahari bulat berwarna oranye tua. Ia terlihat mencolok di antara langit keabuan dan bayangan gedung-gedung bertingkat yang tampak seragam. Ia terdiam di tengah semesta, menyaksikan Jakarta yang sebentar lagi akan ditinggalnya pergi. Dan meninggalkan saya yang masih utang jawaban dengan si sukses.
....
Bus terus melaju, memunguti warga Jakarta yang rindu kasur. Saya duduk di pinggir jendela, bangku kedua dari depan. Tipis-tipis, bayangan wajah saya terpantul dari jendela bus. Ada bulu mata, sepasang mata dengan kantung mata, pipi yang berminyak, sedikit bayangan hidung dan bibir, serta lekukan kerudung di atas kening. Wanita yang saya tanyai di depan cermin tadi, kembali muncul. Dia bilang, "Jawablah sesukamu." ..... Baiklah.
Apa saya sudah sukses? Siapa sebenarnya si sukses? Apa mereka yang sudah punya anak, mereka yang bekerja di luar negeri, yang bergaji dua digit, yang sudah menikah, yang punya suami baik, yang jadi ibu rumah tangga yang baik, yang taat beribadah, yang menerbitkan berpuluh-puluh buku, yang diangkat jadi bos, yang lulus sekolah, yang naik haji, yang membuat perusahaan sendiri, yang menyentil mulut-mulut penggosip, yang dicintai sahabatnya, yang menggenggam cita-citanya, yang atau, atau, atau, atau..... ah, saya jadi pusing sendiri.
Pukul 18.00 lebih, ketika langit berubah gelap dan jalanan semakin padat, saya masih menjaring jawaban. Sayangnya, tidak ada yang tersangkut kail saya. Dan ketika saya berganti kendaraan umum, saya berpikir, mungkin saya memancing di kolam yang salah. Mungkin tidak sepantasnya saya memancing di kolam milik orang lalu mengail versi sukses miliknya. Bisa jadi.
Mungkin akan lebih terang kalau saya duduk-duduk di pikiran saya sendiri, memancing di kolam hidup saya sendiri. Saya yakin, disinilah tempat yang paling tepat untuk kail saya. Saya akan menemukan sukses versi saya sendiri dan saya tidak akan memaksa setiap orang untuk setuju dengannya nanti.
....
Kepada Ayah yang mudah khawatir, tariklah nafas lega dan hembuskan jauh-jauh rasa cemas. Di kolam saya sendiri, saya bukan orang buta. Saya mengerti umpan seperti apa yang harus saya lepas. Doakan saja, saya akan mengail sukses secepatnya. Jangan khawatir lagi karena saya punya firasat yang baik tentang ini.
Bekasi, tengah hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar