Namanya Sumi. Bisa jadi yang lain, tapi saya ingin menyebutnya Sumi. Saya bertemu dengannya siang tadi secara kebetulan.
Siang itu, saya dan Sumi sama-sama berjuang melewati matahari. Saya tidak tahu berapa suhunya saat itu, hanya rasanya matahari seperti berada di pangkuan saya, seperti sembunyi di balik tas saya, seperti tidur di sela-sela celana jins saya, dan seperti main-main di dalam kutang saya.
Tapi saya lebih beruntung dari Sumi karena dalam kondisi panas luar biasa itu, hati saya tidak perlu ikut-ikutan terbakar, seperti yang harus dirasakan Sumi. Saya berada di dalam angkutan umum ketika bertemu Sumi lewat teriakan samarnya dari ujung jalan.
Saya menoleh dan melihat Sumi sedang gemetar di halte. Di depan Sumi tiga orang berbaju safari cokelat berdiri mengepungnya. Air mata Sumi yang sudah kehilangan tenaga jatuh dari sudut matanya. Nyalinya yang hanya segenggaman tangan berusaha menahan pundaknya yang mulai layu.
Sumi beberapa kali teriak, tetapi saya tidak bisa menangkap kalimatnya karena suaranya kalah nyaring dengan bunyi klakson dan mesin-mesin kendaraan. Di dekat Sumi, anak gadisnya berdiri melawan cemas. Wajahnya yang berwarna tembaga menatap kaku tiga orang petugas tadi. Nafasnya naik turun, kacau.
Sumi masih berteriak. Berkali-kali matanya bergantian menatap para petugas dan gerobak yang terparkir di depan halte. Ia takut hartanya disita. Yang sempat saya lihat hanya krat teh botol di gerobak itu, tapi mungkin masih banyak dagangan yang lainnya di dalam sana. Dan seperti mengerti kecemasan ibunya, anak gadis Sumi berlari ke sisi gerobak, berusaha melindungi sebisa mungkin.
Dari tiga petugas itu, hanya yang tengah yang berbicara. Tangan kanannya melambai-lambai. Dari mimiknya, saya rasa ia berusaha menenangkan Sumi. Tapi sepertinya ia tidak berniat untuk kompromi. Mungkin kalau Sumi menyodorkan uang damai baru ia mau berubah pikiran.
Ah, tapi berapa juga uang Sumi. Anak gadisnya saja tidak pernah ia kasih uang jajan. Dan ini tiba-tiba datang tiga orang asing memaksa mau mengambil harta Sumi, isi perutnya. Saya hanya diam menatap Sumi, anak gadisnya, dan ketiga orang petugas itu. Saya ingin membantu dan menyumpal mulut petugas itu dengan uang di dompet. Tapi saya hanya diam.
Dan akhirnya saya meninggalkan Sumi juga anak gadisnya. Waktu pindah angkutan umum, bayang-bayang Sumi masih membeku dalam ingatan. Saya berpikir kenapa Sumi harus hijrah ke kota ini? Kenapa ia harus mengkhayalkan istana di kota ini? Kenapa ia masih nekat berjualan di halte? Dimana lakinya? Kenapa sampai hati tiga orang petugas itu menggerebek Sumi? Kenapa mereka tidak pilih orang yang lebih kaya? Kenapa saya tidak membantu Sumi?
...
Bus sudah masuk jalan tol. Satu dua angin tersangkut di jendela bus tetapi panas masih tetap menyengat. Bus melaju terus dan Sumi entah bagaimana keadaannya sekarang. Di atas bus, pengamen kurus bernyanyi nyaring, "Rakyat kecil menangis lagi...."
-mari tinggalkan Jakarta-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar