Kemarin sore, ibu pulang membawa botol bening, lagi-lagi. Saya sempat melihat sepintas isinya. Ada air setinggi jempol di dalamnya. Tidak tahu itu air apa. Melihat saya, Ibu buru-buru mengempitnya di lengan kiri lalu hilang ditelan pintu kamar.
Tidak sampai semenit, ibu keluar kamar. Rambutnya yang hampir seperti kapas diikat ke belakang dengan karet gelang. Keriput di matanya semakin berlipat-lipat ketika ia tersenyum menatap saya. Ibu lalu duduk di samping saya. Saya tidak berani bertanya isi botol itu. Saya hanya bersandar di bahunya yang kerontang lalu melihat urat-urat tangannya yang menonjol, persis akar pohon yang mengintip-intip dari balik tanah.
Ibu hanya diam. Bibirnya yang merah kecokelatan masih tersenyum. Saya lihat perut ibu mengayun-ayun pelan. Daster kembang-kembangnya ikut mengembang tipis. Kaki ibu menyilang di atas lantai. Tumitnya sedikit pecah-pecah.
Ibu selalu harum. Tubuhnya memiliki aroma yang khas. Aroma yang hangat, menenangkan, dan mampu meredakan tangis. Tubuh ibu juga selalu hangat, seperti pembawaannya yang penuh kasih. Ibu masih tersenyum. Oh..kini ia tertawa melihat si Sule di televisi. Hanya ada saya dan ibu di rumah. Sunyi sering menertawai kami sambil bergantung-gantung di jarum jam dinding yang berdetak seperti suara cicak.
Kalau malam, ibu kadang memanggil bulan untuk berjaga di depan rumah. Bulan mau saja disuruh ibu, asal disuguhi segelas kopi. Bulan kadang main gitar di teras rumah dan biasanya sunyi akan berjoget sambil nyolong-nyolong kopinya bulan. Kalau tidak bisa tidur saya suka mengintipi mereka. Kadang ada kodok juga di teras yang ikut bernyanyi dengan suara baritonnya.
Satu kali, waktu mata saya benar-benar tidak mau diajak ke pulau kapuk, saya membuka lemari ibu. Saya penasaran dengan botol yang sering dibawa ibu. Jantung saya loncat-loncat karena saya tidak terbiasa mengoprek barang-barang ibu. Berkali-kali saya menoleh pada ibu.
Tangan saya sudah membuka lemari ibu. Baru tahu saya kalau pintu lemari ibu lumayan berat. Di dalamnya ada empat sekat. Sekat yang paling terakhir kosong. Sementara tiga sekat lainnya terisi hampir separuhnya. Baju ibu kebanyakan daster dan kaos-kaos biasa. Botol yang biasa dibawa ibu ada di sekat nomor dua. Ibu menaruhnya di pojokan. Mata saya melongo, jantung saya semakin tidak karuan bunyinya. Saya berbalik sebentar melihat ibu. Ibu masih tidur membelakangi saya. Giginya bergemeretak, khas ibu kalau sedang tidur.
Saya balik lagi menatap botol. Tangan saya dingin dan perut saya berputar-putar. Akhirnya saya ambil botol ibu. Di dalamnya masih ada air setinggi jempol yang saya lihat dua hari lalu. Airnya agak keruh, mirip air laut. Saya buka pelan tutupnya dan mencium baunya. Tidak ada bau. Saya lalu menuang sedikit di telapak tangan dan buru-buru menjilatnya. Rasanya agak asin. Cepat-cepat saya menutupnya dan menaruh botol itu di pojokan.
Saya kembali ke tempat tidur, menarik selimut. Ibu masih terlelap. Ada sedikit senyum di bibirnya. Telapak tangan saya masih agak basah. Saya jilat lagi. Rasanya agak asin. Air apa ini, pikir saya. Saya lalu tertidur.
Paginya, seperti biasa saya dan ibu duduk menonton televisi sambil sarapan nasi goreng. Seperti biasa juga, ibu tersenyum. Keriput-keriput kecil di bibirnya hilang tertarik senyuman ibu. Saya menyendok nasi goreng dan tiba-tiba saja teringat kalau ibu tidak pernah terlihat menangis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar