Kulitnya cokelat terpanggang matahari. Rambutnya juga agak kecokelatan. Hidungnya pesek, seperti kebanyakan orang Indonesia. Tubuh mungilnya hampir setiap hari datang ke tempat ini. Ritualnya selalu sama; berbaik-baik sebentar dengan matahari agar mau tidur pakai selimut tipis lalu menatap serius ombak-ombak tebal yang berulang kali menabrak tebing pendek.
Si kecil kemudian membuka kaosnya, menyampirkan di badan jukung yang sedang terlelap di atas pasir. Hari itu, dia memakai celana pendek berwarna cokelat muda. Tangan kirinya menenteng papan seluncur mini yang ujungnya sudah bocel-bocel. Ia tersenyum lebar, matanya hilang di lipatan kelopak mata, hanya tersisa bulu-bulu mata pendek.
Kakinya kini mulai menapaki pinggir pantai yang basah. Ia lalu berlari ke tengah, lompat, lalu merebahkan dada di atas papan seluncurnya. Kedua tangannya mendayung dan sampailah ia di tengah lautan. Disana ia hanya menumpang tidur siang atau melamun berjam-jam memandangi lautan tak bertepi sambil memancing. Pantas saja sekujur tubuhnya menjadi cokelat pekat.
Si kecil tidak pernah tahu angka-angka jam. Ia hanya mengerti pagi, siang, sore, dan malam. Dan baginya hidup tidak serumit yang dibicarakan para nelayan atau ibu-ibu di pasar ikan yang doyan menawar habis-habisan. Bukan karena si kecil orang kaya. Sehari-hari ia hanya menangkap ikan sepuluh sampai lima belas biji. Dimakannya tiga dan sisanya dijual di tempat pelelangan ikan. Kalau tidak ada yang beli, ya sudah disimpan atau dimakan sendiri.
Si kecil juga tidak pernah bermimpi memakai kemeja atau jas. Baju kebesarannya cukup celana pendek dan kaos oblong. Rumahnya yang berada di seberang pantai juga sama sederhananya dengan pakaian yang ia pakai sehari-hari. Ia tidak pernah berharap akan kedatangan tim bedah rumah untuk mengganti atap-atapnya yang bocor. Ia bahagia dengan semua yang ada di genggamannya.
Satu siang, waktu ia sedang malas pergi ke laut, si kecil menumpang nonton TV di salah satu tetangganya. Si kecil melihat orang-orang dusun datang ke Jakarta membawa kotak-kotak bekas indomie dan tas lusuh. Mereka tertawa-tawa riang melihat ibukota tapi sedikit bingung dan kikuk. Si kecil tidak tahu apa yang akan dikerjakan orang-orang dusun itu. Dan mungkin mereka sendiri juga masih bingung. Tidak lama, ia pamit dan pergi ke dusunnya mengambil papan seluncur lalu pergi ke laut.
Sekitar pertengahan bulan Agustus, si kecil kembali menumpang nonton TV. Lagi-lagi ia melihat orang-orang dusun itu. Sudah berumah mereka sekarang. Rumah dari triplek-triplek bekas di kolong jembatan. Mereka masih tertawa-tawa, tapi kini menertawai kebodohan mereka. Si kecil tidak berlama-lama disana. Ia pamitan lalu pergi ke tengah laut dan tidur siang sambil tersenyum.
-Mari tinggalkan Jakarta-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar