Selasa

guru hujan

Jakarta hujan hari itu. Jalanan sepanjang Sarinah, Sudirman, lanjut Gatot Subroto habis disiram butiran hujan sebesar kemiri. Di jendela bus kota, hujan asyik main perosotan, memecah butirannya menjadi bulat-bulat kecil yang tidak beraturan. Mereka bermain tanpa waktu. 

Mungkin hujan adalah sekumpulan anak-anak kecil. Dan mungkin hanya anak-anak kecil yang boleh menjadi hujan. Orang-orang dewasa pasti terlalu membosankan kalau boleh menjadi hujan. Pasti mereka akan malu main perosotan di jendela bus atau teriak-teriak sesuka hati di pintu pagar lalu pergi sembunyi. Hujan pasti menjadi senyap dan bau rokok kalau isinya orang-orang gede.

Dan saya jelas tidak bisa menjadi hujan. Saya membosankan. Bermain-main di jendela bus tidak pernah terlintas sedikitpun dalam otak saya. Saya pemikir. Saya senang bersendiri lalu berenang-renang dalam pikiran saya sambil membuat pagar listrik agar tidak ada yang bisa masuk. Saya jarang bermain karena waktu saya habis untuk membujuk gundah agar pindah tidur di tempat lain, jangan lagi hati saya.

Saya kalah dengan hujan. Saya tidak seasyik anak-anak becek itu. Saya tidak bisa kabur begitu saja ketika habis membuat basah teras rumah orang. Saya tidak punya nyali menyuruh petir bercinta di atas genteng orang. Dan rasanya mustahil saya menyelinap ke balik atap yang bocor lalu membasahi ranjang mereka.


Mungkin saya harus berguru dari hujan. Belajar untuk masa bodoh. Belajar untuk tidak menahan diri. Belajar untuk menjadi tidak terkendali. Dan belajar menjadi tidak membosankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar