Jumat

gelembung sabun

Satu hari, waktu matahari masih setinggi pinggang, di depan halaman stadion yang ramai. Saya bersandar di pagar pembatas bercat hijau pupus, memandangi pikiran saya yang sedang loncat-loncat di atas aspal. Di atas kepala saya, daun-daun hampir mati duduk manis di dahan kurus. 

Semuanya sibuk. Tukang es teh yang menyomot potongan-potongan es batu dengan tangan kanannya. Penjual layang-layang burung yang mulutnya berbusa-busa. Tukang sepatu yang berkali-kali melirik dagangannya. Dan tukang-tukang lainnya yang dalam senyumnya menyembunyikan doa. 

Ah, pikiran saya juga tidak kalah sibuk. Sibuk loncat-loncat, gangguin orang jualan. Dari tengah jalan, dia melambai pada saya lalu menunjuk-nunjuk. Saya menengok ke arah ujung telunjuknya. Ada gadis kecil main-main dengan gelembung sabun. Satu gelembung dipukulnya sampai pecah. Gelembung yang lain lalu datang menyerbu, seperti memarahi.

Sekarang si gadis kecil membuka lebar kedua tangannya. Ia membuat jebakan, seperti waktu bunga bangkai memancing mangsanya. Hap! Dua, tiga, lima, delapan, sebelas gelembung sabun masuk dalam perangkap si gadis. Habislah mereka. 

Jangan takut, masih banyak gelembung yang selamat. Mereka dipandu angin terbang ke Barat. Mereka yang selamat, kini berarakan, persis kawanan burung yang pulang setiap magrib. Bedanya, gelembung-gelembung sabun itu tidak mengucap salam. Mereka pergi tanpa suara. 

Dari tengah jalan, pikiran saya melambai lagi. "Saya ikut mereka bentar ya. Sebelum sore saya pulang," katanya sambil cengengesan. Belum juga saya bilang ya atau tidak, dia sudah melompat ke barisan gelembung yang paling depan.

dari google
Itu hari minggu, sampai hari ini berarti sudah lima hari dia tidak pulang. Dan sampai sekarang saya masih memikirkan gelembung-gelembung sabun itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar