Rabu

pesta di pinggir cangkir

Di pinggir cangkir. Di depan es batu bulat-bulat yang tenggelam di kolam teh. Di pinggir cangkir yang pelan-pelan basah, ia mengaduk pikirannya bersama gula-gula bening yang seperti potongan kaca. Wajahnya menunduk, memperhatikan pikirannya yang tumpah ruah di dalam cangkir teh. Mereka warna warni seperti pelangi dan rasanya mungkin mirip permen nano nano. 

Sambil mengaduk, ia teringat cerita siang tadi. Tentang ujian, tentang doa, tentang syukur, tentang kesulitan, tentang kemudahan, tentang kebahagiaan, tentang harapan, tentang Tuhan. Ia berhenti bicara ketika mengucapkan Tuhan. Wajahnya kini tegak lurus. Tidak lama ia menunduk, memperhatikan hatinya. "Apakah siang tadi Tuhan singgah di sini karena saya betul-betul merasakan haru yang luar biasa?", ia bertanya sambil memegang hatinya. Hatinya diam. Hanya tersenyum. 

Ia ingat-ingat lagi cerita siang tadi. Siang itu, ia duduk dalam dunia sederhana berwarna cokelat pastel. Ia berada dalam dunia mini yang lapang. Dunia yang seempuk kasur mahal. Dunia yang senikmat berdiri di pinggir pantai dan berbincang dengan angin laut. Dunia yang positif. Dan ia berpikir, mungkin inilah dunia yang dirindukannya. Mungkin inilah pacar abadinya yang selalu dikiranya bernama sunyi. Ia juga teringat saat air matanya memaksa ingin ikut merayakan pertemuan itu.

Dan kini, sambil memandangi cangkir teh, ia berpikir apakah semua memang bisa sesederhana itu. Apakah ia bisa selalu mengurangi logika manusianya dan mulai lebih banyak berpikir dengan logika Tuhan. Dan bisakah ia selalu mencerna semuanya dengan perlahan dan tidak buru-buru menghakimi. Ia kini menunduk, memandangi hatinya lagi. Ia berdoa dalam-dalam dan air matanya jatuh. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar